BAB II
Pembahasan
A.
Pengertian
ijma'
Ijmak atau Ijma' (Arab:إجماع)
adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama
berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi.
B.
Macam-macam
ijma'
Ijma'
umat terbagi menjadi dua:
1.
Ijma' Qauli, yaitu suatu ijma' di mana para ulama' mengeluarkan pendapatnya
dengan lisan ataupun tulisan yang menerangkan persetujuannya atas pendapat
mujtahid lain di masanya.
2.
Ijma' Sukuti, yaitu suatu ijma' di mana para ulama' diam, tidak mengatakan
pendapatnya. Diam di sini dianggap menyetujui. Menurut Imam Hanafi kedua macam
ijma' tersebut adalah ijma' yang sebenarnya. Menurut Imam Syafi'i hanya ijma'
yang pertama saja yang disebut ijma' yang sebenarnya.
Selain
ijma' umat tersebut masih ada macam-macam ijma' yang lain, yaitu:
·
Ijma' sahabat
·
Ijma' Khalifah
yang empat
·
Ijma' Abu Bakar
dan Umar
·
Ijma' ulama
Madinah
·
Ijma' ulama
Kufah dan Basrah
·
Ijma'
itrah (golongan Syiah)
C.
Kehujjahan
ijma'
Jumhur ulama ushul fiqh
berpendapat apabila rukun-rukun ijma’ telah terpenuhi, maka ijma’ tersebut
menjadi hujjah yang qath’i (pasti), wajib diamalkan dan tidak boleh
mengingkarinya, bahkan orang yang mengingkarinya dianggap kafir. Di samping itu,
permasalahan yang telah ditetapkan hukumnya melalui ijma’, menurut para ahli
ushul fiqh tidak boleh lagi menjadi pembahasan ulama generasi berikutnya,
karena hukum yang ditetapkan melalui ijma’ merupakan hukum syara’ yang qath’i
dan menempati urutan ketiga sebagai dalil syara’ setelah al-Qur’an dan Sunnah.
Alasan Jumhur Ulama ushul
fiqh yang mengatakan bahwa ijma’ merupakan hujjah yang qath’i dan menempati
urutan ketiga sebagai dalil syara’ adalah:
1.
Firman Allah
swt. Dalam surat al-Nisa’ ayat 59:
Wahai orang-orang yang beriman taatilah Alah dan taatilah Rasul dan
uli al-amri di antara kamu.
Menurut Jumhur Ulama ushul fiqh, lafal uli al-amr dalam
ayat itu bersifat umum, mencakup para pemimpin di bidang agama (para mujtahid
dan pemberi fatwa) dan dunia (pemimpin masyarakat, negara, dan perangkatnya).
Ibn ‘Abbas menafsirkan uli al-amr ini dengan para ulama.
Ayat lain yang dikemukakan Jumhur Ulama adalah surat
al-Baqarah,ayat 143, Ali Imran ayat 110, dan al-Syura ayat 10. Imam Ghazali
(450-505 H/1058-1111 M), mengemukakan ayat lain yang dijadikan Jumhur sebagai
alasan kehujjahan ijma’ , yaitu firman Allah dalam surat al-Nisa ayat 115,
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءتْ مَصِيرًا
Barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya dan mengikuti jalan bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia
leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ke
dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Menurut al-Ghazali, ayat ini menunjukkan bahwa Allah
menjadikan orang-orang yang tidak mengikuti cara-cara yang ditempuh umat Islam
sebagai orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, dan menentang Allah dan
Rasul-Nya hukumnya haram.
2. Alasan Jumhur Ulama dari hadits adalah
sabda Rasulullah saw.:
Umatku
tidak akan melakukan kesepakatan terhadap yang salah. (H.R. al-Tirmidzi)
Dalam
lafaz lain disebutkan:
إِنَّ أُمَّتِي لاَ يَجْتَمِعُ عَلىَ ضَلاَلَةٍ
Umatku
tidak akan melakukan kesepakatan terhadap suatu kesesatan.
Dalam
hadits lain Rasulullah saw. bersabda:
عَلَيْكُمْ باِلجَمَاعَةِ وَإيَّاكُمْ وَالفُرْقَةَ فَإِنََّ الشَّيْطَانَ مَعَ الوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الإِثْنَيْنِ أَبْعُد
Hendaklah
kalian berjamaah dan jangan bercerai berai, karena syetan bersama yang sendiri
dan dengan dua orang lebih jauh. (HR At-Tirmidzi)
Lebih
lanjut Rasulullah saw. bersabda:
منْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ قِيدَ شِبْرٍ فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الإِسْلامِ مِنْ عُنُقِهِ إِلاّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنْ صَلَّى وَصَامَ؟ قَالَ : وَإِنْ صَلَّى وَصَامَم
Dari al-Harits al-Asy’ari dari Nabi SAW bersabda:’Siapa
yang meninggalkan jamaah sejengkal, maka telah melepaskan ikatan Islam dari
lehernya kecuali jika kembali. Seseorang bertanya,’ Wahai Rasulullah, walaupun dia sudah
mengerjakan shalat dan puasa?’. Maka Rasulullah SAW menjawab:’Walaupun dia
shalat dan puasa.’ (HR Ahmad dan at-Turmudzi)
Seluruh hadits itu menurut Abdul Wahhab Khalaf,
menunjukkan bahwa suatu hukum yang disepakati seluruh mujtahid sebenarnya
merupakan hukum umat Islam seluruhnya yang diperankan oleh para mujtahid
mereka. Oleh sebab itu, sesuai dengan kandungan hadits-hadits di atas,
tidak mungkin para mujtahid tersebut melakukan kesalahan dalam menetapkan
hukum. Apabila seluruh umat telah sepakat melalui para mujtahid mereka maka
tidak ada alasan untuk menolaknya.
D.
Kemungkinan
terjadinya ijma’
Para ulama ushul fiqh klasik dan modern telah
membahas persoalan kemungkinan terjadinya ijma’, bahkan secara aktual
ijma’itu telah ada . mereka
mencontohkan hukum-hukum yang telah
disepakati seperti kesepaktan tentang pembagian waris bagi nenek sebesar
seperenam dari harta warisan dan larangan menjual makanan yang belum ada di
tangan penjual.
Akan tetapi, ulama klasik lainnya, mengatakan
bahwa siapayang mengatakan adanya ijma’ terhadap hukum suatu masalah, maka ia
telah berdusta, karena mungkin saja ada mujtahid yang tidak setuju.oleh sebab
itu, menurutnya, sangat sulit untuk mengetahui adanya ijma’ terhadap hukum
suatu masalah.
Sedangkan ijma’ menurut pandangan ulama ushul
fiqh kontemporer, bahwa ijma’ yang mungkin terjadi hanyalah di zaman sahabat,
karena para sahabat masih berada pada suatu daerah. Adapun pada masa
sesudahnya, untuk melakukan ijma’ tidak mungkin,karena luasnya wilayah Islam
dan tidak mungkin mengumpulkan seluruh ulama pada suatu tempat.
Adapun sebab-sebab terjadinya ijma’ antara
lain:
Ø Adanya berbagai persoalan yang dicaarikan status hukumnya,
sementara didalam al-Qur’an dan as-Sunnag tidak ditemukkan hukumnya
Ø Karena al-Qur’an atau as-Sunnah sudah tidak akan diturunkan lagi
Ø Pada masa itu lebih mudah mengkkoordinasikan kmujtahid,
karena jumlahnya tidak terlalu banyak dan wilayahnya belum begitu luas
Ø Perpecahan dan perselisihan antar mujtahid sangat kecil, sehingga
masikh mudah mencapai kesepakatan.
E.
CONTOH-CONTOH
KASUS HUKUM YANG DIDASARI IJMA’
Diantara kasus hukum yang kenjadikkan ijma’ sebagai dasar hukumnya
adalah:
a. Upaya pembukuan
al-Qur’an yang dilakukan pada masa Kholifah Abu Bakar As Shidiq r.a.
b. Pengangkatan Abu
Bakar As-Shidiq sebagai kholifah menggantikan Rasulullah SAW.[11]
c. Menjadikan as Sunnah
sebagai sumber hukum yang kedua setelahal Qur’an. Para mujtahid bahkan umat
Islam seluruh dunia sepakkat menjadikan as Sunnah sebagai sumber hukum Islam.
Emoticon Emoticon