Tafsir Tentang Manusia dan Alam Semesta

MANUSIA DAN ALAM SEMESTA
MAKALAH
AGAMA (AL-QUR’AN DAN HADITS)
Dosen Pengampu MAYADINA ROHMI MUSFIROH, MA

Di susun oleh
1.      Adela Agustina Q
2.      Alifia Mustika
3.      Muhammad Ulin N
Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara
2016/2017


KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.


DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................... i
Daftar Isi........................................................................................................... ii
BAB I Pendahuluan.......................................................................................... 4
BAB II Pembahasan.................................................................................... 5-12
BAB III Penutup............................................................................................ 13
Daftar Pustaka................................................................................................ 14


BAB I
PENDAHULUAN
I.     I. latar Belakang
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah S.W.T yang paling sempurna. Manusia hampir tidak memiliki kekurangan dibandingkan makhluk lain yang Allah ciptakan. Berbicara tentang eksistensi manusia beserta nafsil insaninya berarti kita mengangkat suatu obyek studi yang tidak pernah bisa tuntas dipersoalkan (Sukanto MM, 1989). Manusia diciptakan untuk menempati sebuah alam semesta. Alam semesta yang di ciptakan sedemikian rupa oleh Allah merupakan sebuah anugrah bagi manusia. Oleh karena itu hendaknya manusia menjaga sepenuh hati alam yang mereka tinggali. Agar generasi berikutnya tetap dapat menikmati keiindahan alam yang tiada duanya.
I.     II. Rumusan Masalah
1.      Bagaimana bunyi dan tafsir surat At Tin ayat 4 dan 5?
2.      Bagaimana bunyi dan tafsir surat Shaad ayat 71 dan 72?
3.      Bagaiamana bunyi dan tafsir surat Al-Mulk ayat 3?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Surat At Tin ayat 4 dan 5 dan penafsirannya.
Bunyi surat At Tin ayat 4-5

Artinya:
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

Artinya:
Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).
            A.1. Makna mufrodat dan Tafsir
Kata (خلقنا khalqna/ Kami telah menciptakan terdiri atas kata (خلق) khalaqa dan (نا) yang berfungsi sebagai kata ganti nama. Karena na (Kami) yang menjadi kata ganti nama itu bisa juga digunakan untuk menunjuk satu pelaku saja dengan maksud mengagunggkan pelaku tersebut. Para raja biasa menunjuk dirinya dengan menggunakan kata “kami”. Allah juga sering kali menggunakan kata tersebut untuk menunjuk diri-Nya. Dari sisi lain, penggunaan kata ganti jamak itu (Kami) yang menunjuk kepada Allah mengisyaratkan adanya keterlibatan selain-Nya dalam perbuatan yang ditunjuk oleh kata yang dirangkaikan dengan kata tersebut. Jadi, kata khalaqna mengisyaratkan keterlibatan selain Allah dalam penciptaan manusia. Dalam hal ini adalah ibu bapak manusia. Di tempat lain Allah menegaskan bahwa Dia adalah ahsan Al Khaliqin/ sebaik-baik Pencipta (QS. Al- Mu’minun [23]:14). Ini menunjukkan bahwa ada pencipta lain, namun tidak sebaik Allah. Peranan yang lain itu sebagai “pencipta” sama sekali tidak seperti Allah, melainkan sebagai alat atau perantara.
Kata (الانسانAl-insan/manusia yang dimaksud oleh ayat ini, menurut Al-Qurthubi adalah banyak manusia-manusia yang durhaka pada Allah. Pendapat ini ditolak oleh banyak pakar tafsir dengan alasan antara lain adanya pengecualian yang ditegaskan oleh ayat berikut yaitu, kecuali orang-orang yang beriman. Ini menunjukkan bahwa “manusia” yang dimaksud oleh ayat ini adalah jenis manusia secara umum, mencakup yang mukmin maupun yang kafir. Bahkan Bint asy-Syathi’ merumuskan bahwa semua kata Al-insan dalam Al-Qur’an yang berbentuk definit yaitu dengan menggunakan kata sandang Al berarti menegaskan jenis manusia secara umum, mencakup siapa saja.
Kata ( تقويمtaqwiim  barakar dari kata ( قوم) qawama, yang darinya terbentuk kata qaa’imah, istiqomah, aqimu dan sebagainya, yang keseluruhannya menggambarkan kesempurnaan sesuatu sesuai dengan objeknya. Kata ( اقيموا)aqimu yang digunakan untuk perintah melakasanakan shalat, berarti bahwa shalat harus dilaksanakan secara sempurna sesuai dengan syarat, rukun, dan sunnah-sunnahnya.
Kata taqwim diartikan sebagai menjadikan sesuatu memiliki (qowama) qiwam yakni bentuk fisik yang pas dengan fungsinya. Ar Raghib Al-Ashfahani, pakar bahasa Al-Qur’an, memandang kata taqwim di sini sebagai isyarat keistimewaaan manusia disbanding binatang, yaitu akal, pemahaman, dan bentuk fisiknya yang tegak dan lurus. Jadi, kalimat ahsan taqwim berarti bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, yang menyebabkan manusia dapat melaksanakan fungsinya sebaik mungkin. Jika demikian, tidaklah tepat memahami ungkapan sebaik-baik bentuk terbatas dalam pengertian fisik semata-mata. Ayat ini dikemukakan dalam konteks penggambaran anugerah Allah kepada manusia, dan tentu tidak mungkin anugerah tersebut terbatas pada bentuk fisik. Apalagi secara tegas Allah mengecam orang-orang yang bentuk fisiknya baik, namun jiwa dan akalnya kosong dari nilai-nilai agama, etika, dan pengetahuan.
Kata   رددنهradadnahu terdiri atas kata  ردد radada yang dirangkaikan dengan kata ganti dlam bentuk jamak naserta kata ganti yang berkedudukan sebagai objek hu. Rodada antara lain berarti mengalihkan, memalingkan, atau mengembalikan. Keseluruhan makna tersebut dapat disimpulkan sebagai “perubahan keadaan sesuatu seperti keadaan sebelumnya.” Atas dasar ini, kata tersebut dapat pula diartikan “menjadikannya kembali.”
Manusia yang telah diciptakan Allah dalam bentuk yang sebaik-baiknya karena satu dan lain hal sehingga kemudian kami Allah bersama dengan manusia itu sendiri mengembalikannya ke tingkat yang serendah-rendahnya.
Mengenai makna dari kalimat (اسفل سفلين asfala safilin, para ahli tafsir mengemukakan dalam tiga pendapat, yaitu:
·         Pertama, keadaan kelemahan fisik dan psikis di saat tuanya, seperti di kala ia masih bayi. Pendapat ini ditolak oleh sementara pakar berhubung adanya pengecualian pada ayat berikut:
karena orang beriman pun dapat mengalami keadaan serupa. Makna ini dapat diterima jika kata   الاilla diterjemahkan tetapi bukan kecuali.
·         Kedua, neraka dan kesengsaraan. Pendapat ini pun disoroti dengan suatu pertanyaan, yaitu, apakah sebelum ini manusia pernah berada di sana? Kalau tidak - dan memang tidak, maka mengapa dikatakan “Kami mengembalikannya?” pendapat ini dapat diterima jika kata radadnahu dipahami dalam arti mengalihkannya atau menjadikannya.
·         Ketiga, keadaan ketika ruh Ilahi belum lagi menyatu dengan diri manusia. Pendapat inilah yang dianggap lebih tepat.
Manusia mencapai tingkat yang setinggi-tingginya (ahsan taqwim) apabila terjadi perpaduan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan ruhani, antara kebutuhan fisik dan jiwa. Tetapi, apabila ia hanya memperhatikan dan melayani kebutuhan-kebutuhan jasmaninya saja, maka ia akan kembali atau dikembalikan kepada proses awal kejadiannya, sebelum ruh Ilahi itu menyentuh fisiknya, ia kembali ke asfala safilin.
A.    2. Munasabah
Ayat-ayat yang lalu Allah bersumpah dengan menyebut empat hal. Ayat-ayat ini menjelaskan untuk sumpah itu. Di sini Allah berfirman bahwa : “Demi keempat hal di atas, sungguh Kami Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.[16]
A.    3. Asbabun Nuzul
Imam Ibnu Jarir telah mengetengahkan sebuah hadits melalyi Jabir al-‘Aufi bersumber dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan firman-Nya: “Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)”. (QS. at-Tiin: 5). Ibnu Abbas r.a telah menceritakan bahwa mereka yang diisyaratkan oleh ayat ini adalah segolongan orang-orang yang dituakan umurnya hingga tua sekali pada zaman Rasulullah saw, karena itu ditanyatakanlah perihal mereka, sewaktu mereka sudah pikun, maka Allah menurunkan firman-Nya yang menjelaskan tentang pemaafan bagi mereka. Lalu dinyatakan-Nya bahwa bagi mereka pahala dari amal baik yang dahulu mereka lakukan sebelum pikun.[17]
B.     QS. Shaad ayat 71-72 dan penafsirannya.
B.     1. Bunyi surat Shaad ayat 71-72

[1](Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah[2]". 
 


Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku[3]; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud[4] kepadanya[5]".
B. 2. Tafsir
[1] Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala menyebutkan tentang perbantahan para malaikat. Yang mereka perbantahkan itu ialah faedah dari adanya manusia yang akan diciptakan Allah itu.
 [2] Yaitu Adam ‘alaihis salam bapak manusia.
[3] Sehingga menjadi hidup. Disandarkan ruh kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala adalah sebagai pemuliaan kepada Adam alaihis salam, sebagaimana disandarkannya kata bait (rumah) kepada Allah sehingga menjadi Baitullah (rumah Allah), yang menunjukkan keistimewaan rumah tersebut.
[4] Yakni sujud penghormatan, bukan sujud ibadah.
[5] Maka para malaikat mempersiapkan diri mereka untuk itu karena mengikuti perintah Tuhan mereka dan sebagai penghormatan kepada Adam ‘alaihis salam. Ketika penciptaannya telah selesai baik badan maupun ruhnya dan Allah hendak menguji kepandaian Adam dan malaikat dalam hal ilmu, maka tampak jelaslah kepandaian Adam daripada malaikat, dan Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan para malaikat untuk sujud.
Uraian tentang kisah Adam as dapat ditemukan dalam beberapa surat, antara lain pada surat al-Baqarah, al-A’raf, al-Hijr, dan al-Isra’. Sementara ulama berpendapat bahwa ayat-ayat surat ini merupakan ayat-ayat pertama yang turun menyangkut kisah Adam as itu. Ini setelah memperhatikan perurutan turunnya surah-surah al-Qur’an, di mana tidak ditemukan uraian kisah tersebut sebelum turunnya surah ini.
فإذاستويته (maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya) telah sempurna kejadiannya ونفخت  (dan Kutiupkan) kualirkan فيه من رّوحى  (kepadanya ruh ciptaan-Ku) sehingga ia menjadi hidup. Dimudhafkannya lafaz ruh kepada Allah dimaksudkan untuk memuliakan nabi Adam. Roh adalah tubuh yang lembut dan tidak kelihatan oleh mata, yang membuat manusia dapat hidup karena memasuki tubuhnya. فقعواله سجدين  (maka hendaklah kalian tersungkur dengan sujud kepada-Nya) sujud penghormatan dengan cara membungkukkan badan.
B.3. Munasabah:
Ayat yang lalu menafikan Rasul saw menyangkut al-mala’ al-a’la kecuali apa yang diwahyukan Allah kepada beliau. Ayat-ayat di atas dan ayat-ayat berikut menguraikan sekelumit dari berita tentang al-mala’ al-a’la itu, yakni tentang peristiwa Adam as bersama para malaikat dan iblis. Ayat-ayat di atas menyatakan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah”. Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadian fisiknya dan Kutiupkan ke dalamnya ruh ciptaan-Ku, maka tunduklah kamu semua serta bersungkurlah secara spontan dan dengan mudah sebagai penghormatan kepada-Nya dalam keadaan bersujud.
C.     Q.S Al-Mulk ayat 3 dan penafirannya
C.1. Al mulk ayat 3
 


Artinya
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu Lihat sesuatu yang tidak seimbang?
C. 2. Mufrodat
طِبَاقًا – Tibaq(an)a : setingkat (selapis) demi setingkat (selapis)
تَفَاوُتٍ – Tafawut : berbeda-beda dan tidak seimbang
اَلْفُطُوْرُ – AL-Futur : asy-syuquq (pecah-pecah) dan mufradnya adalah fatr. Dikatakan fatarahu wa in fatara (ia memecahkan sesuatu maka terpecah-pecahlah sesuatu itu)
C.3. Penafsiran
الَّذِى خَلَقَ سَبْعَ سَمَوَتٍ طِبَاقًا, “yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis,” maksutnya hanya ujung-ujungnya saja yang melekat, karena dikatakan sebagiannya melekat di atas sebagian yang lain. Seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Lafaz طِبَاقًا  adalah sifat untuk سَبْعَ, sedangkan طِبَاقًا  adalah mashdar yang berarti al muthaabah (yang berlapis-lapis).
Dia menciptakan langit tanpa adanya tiang yang menyangga dan tanpa ikatan yang mengikatnya, padahal masing-masing menempati waktu dan ruang tertentu yang begitu rapi, hanya daya tarik-menariklah yang mengaturnya. Ada yang menafsirkan bahwa langit ketujuh itu adalah bintang-bintang dari matahari. Ada pula yang menafsirkannya dengan ditambah dongeng-dongeng yang tidak jelas sama sekali. Oleh karena itu, cukuplah saja kita mengartikan langit ketujuh dengan iman kita, karena tidak bisa langit ketujuh diartikan dengan ilmu pengetahuan.
Menurut pendapat ulama lain, Sibawaih berkata طِبَاقًا  dinashabkan karena menjadi objek. Dan menurut Al Qurthubi, خَلَقَ bermakna ja’ala (menjadikan) dan shayara (membuat). Dan thibaaq adalah jamak dari thabaq atau thabaqah. Seperti yang diriwayatkan oleh Aban bin Taghlib, “aku mendengar sebagian orang Arab mencela seseorang. Dia berkata, ‘Syarruhu thibaaqun wa khairu ghairu baaqin (keburukannya berlapis-lapis, sementara kabaikannya tidak akan kekal). Atau menurut Quraish Shihab thibaqa disini adalah mashdar yang artinya sangat bersesuaian. Jadi dalam bentuk jamaknya ketujuh langit itu mempunyai kesamaan, ibaratnya seperti kue lapis atau cangkang telur yang mengitari seluruh segi telur dari segala penjuru.


BAB III
Penutup
III.I. Kesimpulan
            Manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di bumi dalam arti kita sebagai manusia harus bisa menjaga, melindungi, dan melestarikan bumi. Bukan untuk merusak ataupun menghancurkan apa yang Allah ciptakan di bumi ini. Karena kesempurnaan manusia dalam berfikir dengan akal nilah manusia melaksanakan fungsinya dengan sebaik mungkin. Atas dasar itu penciptaan manusia dalam bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya dalam arti yang sebaik-baiknya dalam fungsi sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi.
Allah telah menciptakan lingkungan (langit dan bumi) tempat manusia hidup, dengan sebaik-baiknya ciptaan tanpa adanya kecacatan sedikitpun. Menghiasinya dengan hiasan-hiasan yang multi fungsi seperti halnya bintang di malam hari. Untuk menjaganya, Allah telah membentuk hukum-hukum, namun karena ketidak-patuhan umat manusia, akhirnya rusaklah lingkungan tempat tinggalnya.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Mahalliy, Imam Jalaluddin, dan Imam Jalaluddin as-Sayuthi, Tafsir Jalalain, Asbabun Nuzul Ayat, Bandung: Sinar Baru, 1990.
Al-Maraghy, Musthafa, Tafsir al-Maraghiy, Juz XV, Semarang: Toha Putra, 1988.
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Vol. V, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Syathi’, ‘Aisyah Abdurrahman Bintusy, Manusia Siapa, Darimana dan Kemana?, Semarang: Toha Putra, 1982.